TUGAS SEJARAH PERADABAN ISLAM
DINASTI
BANI UMAYYAH DI DAMASKUS
“Rintisan Sistem Monarci Dalam Islam”
Kelompok
V :
1. Nurhikmah.
K 10800112060
2. Sastiana
Reski 108001120
3. Alfian
Hamid 108001120
AKUNTANSI
3 DAN 4
UIN
ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
2013
/ 2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
jualah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “DINASTI BANI UMAYYAH DI DAMASKUS (Rintisan Sistem Monarci Dalam
Islam)” tepat pada waktunya.
Sebagai
manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan, begitu juga halnya dengan
kami. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini, baik dari segi penulisan maupun isi. Kamipun menerima dengan lapang dada
kritikan maupun saran yang sifatnya membangun dari pembaca agar kami dapat membenahi
diri.
Walaupun
demikian, kami berharap dengan disusunya makalah ini dapat membantu dalam
proses belajar maupun mengajar serta dapat bermanfaat bagi pembaca.
Terimakasih.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb
Gowa,
18 September 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Sampul
………………………………………………………………………………………….. i
Kata pengantar
…………………………………………………………………………………. ii
Daftar isi
……………………………………………………………………………………….. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah …………………………………………………………… 1
B. Rumusan
Masalah …………………………………………………………………. 2
C. Tujuan
Penulisan …………………………………………………………………... 2
BAB II. PEMBAHASAN MATERI
A. Berdirinya
Dinasti Bani Umayyah ………………………………………………… 3
B. Ekspansi
dan politik ……………………………………………………………….. 9
C. Pemerintahan
dan Administrasi …………………………………………………... 14
D. Prestasi
diBidang Sains dan Kebudayaan ………………………………………… 17
E. Analisis
Kemunduran dan Kejatuhan …………………………………………….. 20
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
……………………………………………………………………….. 23
B. Saran
…………………………………………………………………………….... 24
Daftar Isi
……………………………………………………………………………………… iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali
bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau
kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan
pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses
musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau
kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya
untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang
kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan
kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan
dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali
bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan
pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah
juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali)
membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh
putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau
akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada
akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan
perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada
umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal
dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti
Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu
dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan
pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana awal berdirinya Dinasti bani Umayyah ?
2.
Apa saja ekspansi dan
politik pada Dinasti Bani Umayyah ?
3.
Bagaimanakah sistem pemerintahan dan Administrasi pada
Dinasti Bani Umayyah ?
4.
Apakah prestasi yang diraih pada bidang sains dan kebudayaan
?
5.
Bagaimanakah analisis kemunduran dan kejatuhannya ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui awal berdirinya Dinasti Bani Umayyah
2.
Untuk mengetahui ekspansi-ekspansi dan system politik pada
Dinasti Bani Umayyah
3.
Untuk mengetahui sistem pemerintahan dan administrasi pada
Dinasti bani Umayyah
4.
Untuk mengetahui prestasi-prestasi yang diraih dibidang
sains dan kebudayaan
5.
Untuk menganalisis kemunduran dan kejatuhan Dinasti Bani
Umayyah
BAB
II
PEMBAHASAN
MATERI
A. Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
1.
Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Pengertian kata Bani
menurut bahasa berarti anak, anak cucu atau keturunan. Dengan demikian yang
dimaksud Bani Umayah adalah anak, anak cucu atau keturunan Bani Umayah bin Abdu
Syams dari satu keluarga. Kata Dinasti berarti keturunan raja-raja yang
memerintah dan semuanya berasal dari satu keturunan. Dengan demikian, Dinasti Umayyah adalah keturunan
raja-raja yang memerintah yang berasal dari Bani Umayah.
Adapun
istilah lain yang sering digunakan adalah kata Daulah, yang berarti
kekuasaan, pemerintahan, atau negara. Dengan kata lain, Daulah Bani Umayah
adalah negara yang diperintah oleh Dinasti Umayah yang raja-rajanya berasal
dari Bani Umayah.
Proses terbentuknya
kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas
terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat
itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya
para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam
mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah
pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan
pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan
bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian
mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan
sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H.
Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan
kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat
menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok
masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang
merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria,
dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai
sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di
peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti
berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi
Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang
berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di
Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua
kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin
Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan
kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah
kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah
, Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan
ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah
Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak
kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan
kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali
bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian
kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri
Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat
penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat
menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan
di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan
konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib
berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja
tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua
putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat
tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan
massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru
keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang
berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi
seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan
mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di
daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia
tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini
di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidakpuasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa
surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan
kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes
dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka
juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi
dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera
menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan
semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung
menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan
sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang
diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan
sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur
baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat
khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini
berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama
ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang
bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada
saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena
kelalaian mereka.
2.
Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi
Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40
H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di
masjid Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan
dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para
pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam
dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri
Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu
dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini
(bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada
saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin
Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana
pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan
dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah
sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang
jujur dan lemah secara politik. Ia sama
sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih
mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi
massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak
terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang
didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan
kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada
Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara
Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat
untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang
demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin
Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah.
Untuk itu maka di kirimkan surat melalui
Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan
bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada
Muawiyah dengan syarat antara lain:
Ø Muawiyah
menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada
pihak lain.
Ø Muawiyah tak lagi
melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.
Ø Muawiyah
menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap
tahun.
Ø Setelah Muawiyah
berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan
kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
Ø Muawiyah tidak
boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu
telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua
persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin
Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di
ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Setelah kesepakatan damai
ini, Muawiyah mengirImkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda
tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui
bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan
sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan
Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan
seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi
kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan
pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya
kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu
Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan
bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama
Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah
berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam
menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak
mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak
henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan
dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah
dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya
kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan
Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang
didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi
pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan
muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur
Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap
bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra
kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid
bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam
Di daerah ini tidak mrngakui Yazid.
Mereka Mengangkat Husein
sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah
daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.
Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
B.
Ekspansi Dan Politik
1.
Ekspansi
Ekspansi yang terhenti pada
masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,
Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke
Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan
dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat
secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan
Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi
selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara
Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[1][15]. Pada
saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui
pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi
ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa
Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika
Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
2.
Politik
Sistem
ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai
khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan
dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara)
dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagi Syuro. Khalifah lebih
berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin.
Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum
bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal
ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan
Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu
merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang
syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan
kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang
Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis
berubah. Terdapat beberapa implikasi yang menyertai Sistem Monarki ini, yaitu :
Ø Berubahnya pola kekuasaan. Otoritas
tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus
ditaati perintahnya.
Ø Sentralisasi dan absolutisme
kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan
sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama
ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan.
Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan
strategi dalam mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif
pada kemunculan kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat
tampak.
Ø Berkurangnya peran ulama dari
lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak
sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani
Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana;
mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati
demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para ulama berkaitan dengan
sebuah permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.
Ø Kekuasaan ada pada sekeliling istana
saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus
kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak
memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan,
sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah
bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan
runtuhnya Dinasti Umayyah.
Seperti dijelaskan di atas, sistem
pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis
terbangun dengan gerakan politik ekstra kekuasaan dan pemberontakan. Dalam
konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh
Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini,
yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan
gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini
eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok
dan daerah masing-masing.
Gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan
ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan
sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya.
Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis
merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair
(peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai
faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai
Khalifah dan mulai mengkonsolidasi diri.
Abdullah bin Zubeir yang mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun
pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya
kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini
merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik
Hasan bin Ali oleh Damaskus.
Namun, ternyata rekonsolidasi
kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini,
menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan
oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj
bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani
Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Fenomena berbeda justru terjadi pada
kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan
ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa
dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz.
Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan
gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan.
Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari
orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik,
pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah. Lemahnya
pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas
gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini
bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan
pada tahun 750 M Khalifah Muawiyah melanjutkan usaha
Khalifaur Rasyidin dalam penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah
Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara
berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan
Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut
sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari
Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan
salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh
umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru
tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah
juga menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa
lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang
menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.
Selain itu, umat
Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai
dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan
Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama
yang dianut oleh bangsa lain.
Bertambah luasnya teritorial umat
Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani
Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul
gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari
pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut
kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim
yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.
Selain itu, bertambah luasnya
teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial
baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim
non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli
merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk
kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari
kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.
C.
Pemerintahan Dan Administrasi
“Aku
tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi
Sufyan).”
Pernyataan di atas cukup
mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang
politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya.
Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad.
Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada
abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik
mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya,
politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia
wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan
pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa
sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik
yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung
oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia
memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi
baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya
“Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya
dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya,
terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan
khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali
menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib
bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para
penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya
kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan
sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan
menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran
Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi
pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk
memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa
Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan
sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan
para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan
ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm
sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat
perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap
warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi
harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar
bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani
Umayyah yang berkuasa:
Ø Muawiyah bin Abi
Sufyan (41-60 H/661-680 M)
Ø Yazid bin Muawiyah
(60-64 M/680-683 M)
Ø Muawiyah bin Yazid
(64-64 H/683-683 M)
Ø Marwan bin Hakam
(64-65 H/683-685 M)
Ø Abdul Malik bin
Marwan (65-86 H/685-705 M)
Ø Walid bin Abdul
Malik (86-96 H/705-715 M)
Ø Sulaiman bin Abdul
Malik (96-99 H/715-717 M)
Ø Umar bin Abdul
Aziz (99-101 H/717-720 M)
Ø Yazid bin Abdul
Malik (101-105 H/720-724)
Ø Hisyam bin Abdul
Malik (105-125 H/724-743 M)
Ø Walid bin Yazid
(125-126 H/743-744 M)
Ø Yazid bin Walid
(126-127 H/744-745 M)
Ø Ibrahim bin Walid
(127-127 H/745-745 M)
Ø Marwan bin
Muhammad (127-132 H/745-750 M)[2][11]
D.
Prestasi di Bidang Sains Dan Kebudayaan
1.
Pada Bidang Sains
Dalam hal
ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial.
a). Bidang Material :
a). Bidang Material :
1. Muawiyah mendirikan
Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan
peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan
bersenjata.
2. Mu’awiyah
merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan ”anjung” dalam masjid
tempat sembahyang. Ia sangat khwatir akan keselamatan dirinya, karena khalifah
Umar dan Ali, terbunuh ketika sedang melaksanakan shalat.
3. Lambang
kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara
baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang
negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
4. Mu’awiyah sudah
merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa
Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan baik,
sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.
5. Arsitektur
semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun
sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame
Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
6. Pembuatan
mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh
penjuru negeri islam.
7. Pembuatan
panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk
orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
8. Pengembangan
angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri,
tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang
waktu itu berjumlah 1700 buah.
9. Khalifah Abd
Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam yang tadinya berbahasa Yunani dan Pahlawi sehingga sampai
berdampak pada orang-orang non Arab menjadi
pandai berbahasa Arab dan untuk menyempurnakan pengetahuan tata bahasa
Arab orang-orang non Arab, disusun buku tata bahasa Arab oleh Sibawaih dalam
al-Kitab.
10. Merubah
mata uang yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Sebelumnya
mata uang Bizantium dan Persia seperti
dinar dan dirham. Penggantinya uang dirham terbuat dari mas dan
dirham dari perak dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
11. Perluasaan
wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, bahkan
perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan
panglima Thariq bin Ziad, yang berhasil menaklukkan Kordova, Granada, dan
Toledo.
12. Dibangun
mesjid-mesjid dan istana. Katedral St. Jhon di Damaskus dirubah menjadi mesjid,
sedang Katedral yang ada di Hims dipakai sebagai mesjid dan gereja. Di
al-Quds (Jerussalem) Abdul Malik membangun mesjid al-Aqsha. Monumen
terbaik yang ditinggalkan zaman ini adalah Qubah al-Sakhr di al-Quds. Di mesjid
al-Aqsha yang menurut riwayatnya tempat Nabi Ibrahim hendak
menyembelih Ismail dan Nabi Muhammad mulai dengan mi’raj ke langit, mesjid
Cordova di Spanyol dibangun, mesjid Mekah dan
Madinah diperbaiki dan diperbesar oleh Abdul Malik dan Walid.
13. Bahkan pada
masa, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan megah raksasa yang
terkenal dengan Jami’ul Umawi.
b.)
Bidang Immaterial
1. Mendirikan
pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya memunculkan nama- nama
besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan kalam. Washil bin Atha.
Bidang yang menjadi perhatian adalah tafsir, hadits, fikih.
2. Penyair-penyair
Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap syair Arab
Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn Abi Rabiah (w. 719 m.),
Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Ibn al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih
dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w. 792 M) dan
al-Akhtal (w. 710 M.).
3. Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
Waktu dinasti ini telah mulai dirintis
jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta. Dan ilmu pengetahun
berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat.
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan
dinasti Umaya h, antara lain
kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya. Sehingga secara
perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama,
Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu
al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-
Ulumul khiliyah
(ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib,
filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi. Kedua
: Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa
zaman Jahiliyah
dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan
amtsal.
4. Gerakan
Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan
penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan, terutama
pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah
buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa
Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula,
Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta
yang dikenal
dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah ibnu
Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti
filsafat dan logika, termasuk karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica,
Analityca Posterior serta karya
Porphyrius :Isagoge.
2.
Pada Bidang kebudayaan
Dalam lapangan sosial budaya,
bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa muslim (Arab)
dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang luhur seperti
Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan kreatifitas
baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Di lapangan seni,
terutama seni arsitektur, Bani Umayyah mencatat prestasi puncak, seperti Qubah
as- Shakhra di Yerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak
henti-hentinya di kagumi orang.
E.
Analisis Kemunduran Dan Kejatuhan
1.
Kemunduran Dinasti Bani Umayyah
Sepeninggal Umar bin
Abdul-Aziz, kekuasaan Bani
Umayyah dilanjutkan oleh Yazid
bin Abdul-Malik (720- 724
M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada
masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis
politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin
Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan
rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya,
Hisyam
bin Abdul-Malik (724-743
M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan
Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun
sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan
terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak
berhasil dipadamkannya.
Setelah Hisyam
bin Abdul-Malik wafat,
khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi
juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya,
pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan
bin Muhammad, khalifah
terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun
kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad
menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan
oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.
2.
Kejatuhan
Dinasti Bani Umayyah
Terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya Dinsti Bani Umayyah, yakni :
Ø Pertentangan keras
antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab
Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan (
Himyariyah ) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umaiyah persaingan antar
etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cenderung kepada satu
fihak dan menafikan yang lainnya.
Ø Ketidakpuasan
sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu
status yang menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan
orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka
bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang
di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata orang Arab ,
tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak
dikabulkan. Seperti tunjangan yang di berikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh
lebih kecil di banding tunjangan yang di bayarkan kepada orang Arab.
Ø Latar belakang
terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum syiah dan khawarij terus berkembang menjadi
gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan
umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa-masa akhir kekuasaan
Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat
menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
Ø Persaingan di
kalangan anggota Dinasti Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan mereka.
Ø Hidup mewah di
istana memperlemah jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yang membuat mereka
tidak sanggup memikul beban pemerintahan yang sedemikian besar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan–penjelasan
yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat
Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan
masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni
656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari
nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai
dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru
kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh
seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat
oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah
melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu
kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun
41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti
Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana
ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan
khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai
oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang
dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang
hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah:
kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua
Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan
bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi
keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat
dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan
sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran
Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah:
perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan
golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan
suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan
dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang
didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
B.
Saran
Demikianlah isi dari makalah
kami, yang menurut kami telah kami susun
secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai
sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya.
Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa
“meskipun” berkisah mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi
perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai
perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai tetes darah dan keringat
mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar
dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk
melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang
besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita
menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi
menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang
kita peluk ini.
Dan bagi pembaca, kami sangat
berharap adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami dapat
memperbaiki makalah kami yang berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Yatim, Badri. 2001. Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II, Cet
XII. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
K. Hitti,Piilip. 2008. The History of Arabs.
Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The
Present , Cet. Ke-1 Oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Aby Bakar, Istian. 2008. Sejarah
Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum, Cet-1. UIN malang.
Aminuddin, dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara
Nasution,
syamruddin.
2010. Sejarah
Peradaban Islam Masa Klasik. Pekanbaru : Pusaka Riau
1 Comments for "DINASTI BANI UMAYYAH DI DAMASKUS “Rintisan Sistem Monarci Dalam Islam”"
Do you understand there's a 12 word sentence you can speak to your crush... that will induce intense emotions of love and instinctual attraction to you buried inside his heart?
That's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, look after and look after you with his entire heart...
12 Words That Trigger A Man's Desire Response
This instinct is so hardwired into a man's mind that it will drive him to work harder than before to love and admire you.
Matter-of-fact, fueling this all-powerful instinct is absolutely essential to achieving the best possible relationship with your man that the instance you send your man one of these "Secret Signals"...
...You will soon notice him open his mind and heart to you in a way he haven't expressed before and he'll identify you as the one and only woman in the galaxy who has ever truly understood him.