BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
para founding fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip
pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Cita
desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan Negara
sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai
pada era kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi
senantiasa dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu
periode ke periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut,
maka langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah
membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut.
Sekalipun demikia, kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam
realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai
kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi
Daerah belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru
menuju kea rah Otonomi Daerah yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang menetukan prospek otonomi
daerah, diantaranya, yaitu : Faktor Pertama adalah faktor manusia sebagai
subyek penggerak (faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor
manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun kapasitasnya. Faktor
ini mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD,
aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan lingkungan tempat
aktivitas pemerintahan daerah tersebut.
Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang
punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Salah stu
cirri daerah otonom adalah terletak pada kemampuan self supportingnya /
mandiri dalam bidang keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat
memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sumber keuangan daerah yang asli, misalnya pajak dan
retribusi daerah, hasilm perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil daerah
lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan kontribusinya bagi keuangan daerah.
Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana
pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang
ada haruslah cukup dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan
praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang
akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa
kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan
tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu
perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap masalah ini dituntut dari para
penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa
keempat faktor tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya
Otonomi Daerah masih menunjukkan sosoknya yang kurang menggembirakan.oleh sebab
itu apabila kita berkeinginan untuk merealisasi cita-cita Otonomi Daerah maka
pembenahan dan perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan kepada empat
faktor di atas.
B.
Rumusan
Masalah
Makalah ini di buat
dengan rumusan masalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?
2.
Bagaimana
Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
3.
Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari otonomi daerah
2.
Mengetahui
bagaimana sebenarnya otonomi daerah bisa lahir di Indonesia
3.
Mengetahui
dampak positif maupun negative yang ditimbulkan dari penyelenggaraan otonomi
daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari 2
kata yaitu , auto berarti sendiri, nomos berarti
rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus
rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka
istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan
dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri.
Ada juga berbagai
pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh Pemerintahan
Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah yang
terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu sebagai berikut:
-
Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut
asas otonomi seluas-luasya dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang
dimaksudkan di dalam UUD 1945.
-
Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu
daerah.
-
Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat
daerah seperti Lurah, Camat serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah
tertinggi.
-
DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD
duduk para wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD
adalah suatu unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
-
Otonomi daerah adalah wewenang, hak dan kewajiban suatu daerah
otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus
berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di
dalam batas-batas wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana
prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem
NKRI.
-
Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat
adalah Presiden Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah
di Indonesia
1.
Warisan
Kolonial
Pada
tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah
undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah
kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam
masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
2.
Masa
Pendudukan Jepang
Ketika
menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan.
Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.
3. Masa Kemerdekaan
Ø Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur
pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
UU
No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
Ø Periode
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus
dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Ø Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah
otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi
daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga
tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk
kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini
menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat
(1) UUDS 1950.
Ø Periode
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang
berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan
efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan
daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah
tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah
pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama
dari kalangan pamong praja.
Ø Periode
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga
tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai
alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan
pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah
daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
Ø Periode
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU
ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut
tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik
berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
Ø Periode
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut:
a.
Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b.
Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah kabupaten dan daerah kota.
c.
Daerah
di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d.
Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara
umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
Ø Periode
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada
tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian
juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
C.
Dasar
Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah
1. Dasar Hukum
Tidak
hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita bahas.Namun ada
dasar-dasar yang bisa menjadi landasan.Ada beberapa peraturan dasar tentang
pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
-
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
-
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang
pemerintahan daerah.
-
Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber
keuangan negara.
Tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi daerah harus
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di
wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki
oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
Dengan demikian, prinsip pemberian otonomi daerah menurut UU
otonomi daerah dapat dijabarkan sebagai berikut :
Ø Penyelenggaraan otonomi daerah
dilakukan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah
Ø Pelaksanaan otonomi daerah
didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab
Ø Pelaksanaan otonomi daerah yang luas
dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi
daerah propinsi merupakan oonomi yang terbatas
Ø Pelaksanaan otonomi daerah harus
sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah serta antar daerah
Ø Pelaksanaan otonomi daerah harus
lebih meningkatkan kemandirian daerah otonem dan karenanya dalam daerah
kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi
Ø Pelaksanaan otonomi daerah harus
lebih meningkangkan peranan dan fungsi badab legislative daerah, baik sebagai
fungsi legislasi,fungsi pengawasan maupun fungsi fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah
2. Landasan Teori
Berikut
ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
a.
Asas
Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas
otonomi daerah yang saya tuliskan di sini.Asas-asas tersebut sebagai berikut:
-
Asas
tertib penyelenggara Negara
-
Asas
Kepentingan umum
-
Asas
Kepastian Hukum
-
Asas
keterbukaan
-
Asas
Profesionalitas
-
Asas
efisiensi
-
Asas
proporsionalitas
-
Asas
efektifitas
-
Asas
akuntabilitas
b.
Desentralisasi
Desentralisasi
adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan
daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang
secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan
untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara
pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap
mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
3.
Sentralisasi
Sentralisasi dan
desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian
sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas
pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat
dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah
pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak
tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam
wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang
akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah
selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi
daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu
diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di
Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya
dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan
desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan
tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan.
Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua
hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik
yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana
yang terbaik bagi masyarakat.
D. Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah
APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah). Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini
saya akan membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak
lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator
penting dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor
keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan
daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa
biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah
yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah otonom
diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya
dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang
lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang terbesar
dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah
sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah
demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja
yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran
finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan
suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut ,anggaran publik
merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu
organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan
aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu
rencana finansial yang menyatakan :
1) Berapa biaya atas rencana yang di
buat(pengeluaran/belanja),dan
2) berapa banyak dan bagaimana cara
uang untuk mendanai rencana tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut UU No.17 tahun
2003 tentang keuangan Negara disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan
Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah
daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan
ditetapkan dengan peraturan daerah.
ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan
keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya
sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi
kebutuhan lokal.
E. Dampak Otonomi Daerah
1. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi
daerah makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan
identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali
pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh
lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
2. Dampak Negatif
Beberapa factor negative yang menghambat pelaksanaan otonomi
daerah, antara lain :
-
Ketidakpastian
hukum (masih adanya tarik menarik wewenag antara pusat dan daerah)
-
Pungutan
tidak resmi (perlu ada perbaikan skema hubungan keuangan pusat dan daerah)
-
Persyaratan
“local content” (kompromi antara
keinginan local dan efisiensi perusahaan)
-
Persaingan
antar daerah (perlu menghitung cost dan benefit dari skema insentif kepada
calon investor)
-
Kepemilikan
dan manfaat (perlu pemda ikut dalm kepemilikan atau manfaat langsung dari
perusahaan)
Dampak negatif dari otonomi daerah
adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan
tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai
dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu
dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh
pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan
dengan system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi
jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi
daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa
modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
a)
Korupsi
Pengadaan Barang. Modus : Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari
harga pasar dan Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
b)
Penghapusan
barang inventaris dan aset negara (tanah). Modus : Memboyong inventaris kantor
untuk kepentingan pribadi dan Menjual inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
c)
Pungli
penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
d)
Pemotongan
uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo).
Modus : Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat
(setiap meja).
e)
Bantuan
fiktif. Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan
dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini
sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila
Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu
program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi
dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang / badan
yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai
bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan
terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Riwu
Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
DR.
Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta, Rhineka Cipta.
1 Comments for "Makalah Lengkap Otonomi Daerah (OTDA)"
As claimed by Stanford Medical, It's really the ONLY reason this country's women get to live 10 years more and weigh an average of 42 lbs lighter than us.
(And really, it is not about genetics or some secret diet and absolutely EVERYTHING about "HOW" they eat.)
P.S, What I said is "HOW", not "what"...
Tap on this link to reveal if this easy test can help you decipher your true weight loss potential